Jakarta | Mikanews : Kasus Korupsi Wilmar Group menguak fakta yang mengerikan, bahwa kejahatan konglomerasi bukan hanya merampok sumber alam, merusak hutan, menguras kekayaan negeri, meracuni mental pejabat, memiskinkan petani, melainkan juga mengadu domba sesama anak bangsa, mengobarkan isu SARA, yang berpotensi pada kerusuhan dan memecah belah negeri.
(MAFIA SAWIT YANG MENGADU DOMBA ANAK BANGSA)
Bahwa dengan sengaja, melalui pengakuan nya sendiri, pengacara Marcella Santoso, mengalihkan perhatian kasus korupsi yang tengah membelit clientnya, dengan melempar isu nasional dan isu – isu kontroversial di berbagai media;
Seperti RUU TNI, kampanye ‘Indonesia Gelap’, berita anti Kejaksaan Agung, anti pemberantasan korupsi dan anti pemerintahan Jokowi dan Prabowo.
Wilmar Grup adalah perusahaan kongsi antara Martua Sitorus (Thio Seng Hap) dan Kuok Khoon Hong yang berbasis dan berkantor di Singapura.
Kuok Khoon Hong merupakan miliarder Singapura yang menempati urutan ke-1.072 dengan kekayaan 3,4 miliar dolar.
Sedangkan Martua Sitorus termasuk miliarder Indonesia yang menduduki urutan ke-1.045 dengan kekayaan 3,5 miliar dolar (Rp.54,4 triliun), mengutip ‘Forbes 2025’.
Konglomerat Sawit Wilmar Group kini menguasai 45% pasar minyak goreng Indonesia, yang sepak terjangnya mempengaruhi harga dan pasokan.
Wilmar Group menggunakan izin ekspor CPO (‘crude palm oil’) untuk menyiasati aturan minyak goreng curah, sehingga pasokan dalam negeri berkurang.
Akibatnya, harga minyak goreng melonjak hingga Rp 30.000/liter, padahal sebelumnya hanya Rp 12.000-15.000.
Di sisi lain, program kemitraan dengan UKM hanya formalitas, sebab banyak petani sawit mandiri dirugikan.
Bahkan mereka menekan harga petani dan menangguk untung dari ekspor pasar dunia.
KASUS utama yang membelit Wilmar Group sebenarnya semata – mata ekonomi dan lingkungan, dimana anak – anak perusahaan mereka mengakali dan melanggar aturan ekspor yang menyebabkan kelangkaan minyak goreng di dalam negeri, melambungkan harganya, juga merusak hutan dan konflik dengan tanah adat yang merugikan negara triliunan rupiah.
Namun, demi lepas dari jeratan hukum – Wilmar Group menggunakan pengacara yang menghalalkan segala cara, yaitu Marcella Santoso dan Junaidi Saibih, dengan menyerang balik penegak hukum, merusak citra pemerintah dan aparat kejaksaan agung.
Yang lebih mengerikan, tim pengacara dan cyber army yang mereka kendalikan, melempar bola panas isu nasional bernuansa SARA yang mengadu domba sesama anak negeri.
Marcella Santoso adalah sarjana hukum lulusan UI, yang sering menjadi pengacara para koruptor, atau pengusaha nakal, khususnya BLBI, kasus suap pengadilan, skandal Djoko Tjandra & Jaksa Pinangki.
Bersama-sama rekannya, Junaedi Saibih, yang juga alumni dan dosen UI, Marcella menjadi pembela pejabat pajak Rafael Alun Triambodo, kasus tambang timah Rp300 triliun yang melibatkan suami pesohor Sandra Dewi, Harvey Moeis.
Di balik gaya hidupnya yang hedonistik, bersama suaminya, Ariyanto Bakri atau Ary Bakrie, dia melakukan praktik iblis yang menyebarkan kebencian, dan mengadu domba anak bangsa.
MARCELLA SANTOSO mewakili clientnya yang bermukim di Singapura bekerja sama atau mengajak serta tokoh HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) M. Adhiya Muzakki yang dikenali sebagai “aktifis pro oligarki” dan Ketua “Tim Cyber Army” serta Tian Bachtiar (Direktur Pemberitaan JAK TV eks jurnalis ANTV) yang memiliki jaringan media utama nasional telah melakukan serangkaian manuver politik untuk menyerang pemerintahan yang sebelumnya maupun yang baru.
Tanpa bukti kuat, Marcella Santoso melemparkan isu Kejagung di kendalikan oleh “kartel mafia hukum”, “Reformasi Kejaksaan Rusak” serta mendorong opini agar Kejagung “dibubarkan atau direstrukturisasi”, bahkan menyerang kehidupan pribadi pejabat tinggi, dengan isu “Jaksa Agung beristri lima”, dengan tujuan melemahkan penindakan korupsi serta merusak kepercayaan publik pada lembaga negara.
Dalam pengakuannya sendiri, melalui video berdurasi 4 menit 41 detik yang di putar oleh Kejaksaan Agung saat konferensi pers pada Selasa, 17 Juni 2025. (Marcella menyebut dia ada di balik isu yang meresahkan nasional).
“Saya ingin menyampaikan dari hati saya yang paling dalam terkait dengan perkara Pasal 21 kasus timah, kasus CPO dan kasus gula, saya menyadari dalam proses penanganan perkara terdapat postingan yang sebenarnya sama sekali tidak terkait dengan perkara yang ditangani,” ujar Marcella dalam video tersebut.
Marcella juga mengakui telah menyebarkan isu-isu negatif yang tidak relevan terhadap Jaksa Agung ST Burhanuddin, Jampidsus Febrie Adriansyah, dan Direktur Penyidikan Jampidsus Abdul Qohar.
Ia menambahkan bahwa beberapa unggahannya turut menyinggung isu-isu pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, seperti Petisi RUU TNI dan kampanye “Indonesia Gelap”.
Penelurusan tim penyidik Kejaksaan Agung mengaitkan namanya dengan isu SARA.
Mengaitkan penegakan hukum dengan sentimen agama seperti kasus dugaan penistaan agama yang dibesar-besarkan
Belum terungkap berapa dana yang dia keluarkan untuk tim buzzer adu domba isu nasional dan korban politik, selama ini.
Tapi bayangkan saja, jika untuk menyogok majelis hakim di Pengadilan Jakarta Pusat, Wilmar Group menggelontorkan Rp.60 miliar.
Menurut Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung Abdul Qohar Affandi, Ketua HMI yang juga Ketua Tim Cyber Army M Adhiya Muzakki (MAM) menerima bayaran Rp 864,5 juta untuk memimpin tim buzzer berita dan konten negatif tentang penanganan tiga kasus korupsi besar oleh Kejaksaan Agung (Kejagung).
“Uang tersebut dia terima dari advokat Marcella Santoso (MS), ” katanya dalam konferensi pers pada Rabu malam, 7 Mei 2025.
Sedangkan kepada Dirut Pemberitaan JAK TV Tian Bachtiar, Marcella Santoso dan rekannya, Junaedi Saibih di duga memberikan uang Rp 400 juta untuk memberikan pemberitaan yang menyudutkan Kejagung.
Wilmar Group dan Martua Sitorus adalah bagian dari mafia sawit yang bermain di ekspor ilegal, yang merugikan petani, konsumen minyak goreng, yang kini terlibat dalam kasus suap pengadilan, dan pengalihan isu nasional yang kontroversial.
Bahkan mengobarkan isu SARA.
Pihak yang dirugikan oleh Wilmar Group dan pengacaranya, bukan hanya negara, melainkan juga rakyat yang dibuat resah oleh adu domba di media lewat berita isu – isu yang di rawat di media sosial, media online dan televisi untuk mengalihkan perhatian dari kasus mereka.
Sebagai mantan awak media, saya sedih karena dalam membela dari clientnya, pengacara berhati iblis ini menghancurkan jurnalisme independen, menjadi jurnalisme partisan, sektarian, yang merusak kredebilitas pers dan media.*Mika.
(Red)
Sumber : KopiPagi






