Pariaman | Mikanews.id : Dunia pendidikan di Kota Pariaman kembali tercoreng, pasalnya, Kepala Sekolah SMAN 2 Kota Pariaman, Safruddin diduga melakukan pelecehan seksual secara daring terhadap seorang ibu rumah tangga bersuami.
Dugaan pelecehan di lakukan melalui aplikasi Messenger Facebook, berupa pesan-pesan mesum, ajakan ke hotel, hingga kiriman foto vulgar.
Korban mengungkapkan, tindakan itu telah berlangsung selama beberapa bulan.
Awalnya, saat ia masih berada di Sorek Riau,hingga berlanjut ke hari-hari terakhir sebelum kasus ini dibuka ke publik.
“Kejadian ini sudah berlangsung sejak saya masih di Sorek Riau. Saya diam, saya sabar. Tapi karena sudah keterlaluan dan tidak ada itikad baik, saya putuskan untuk bicara,” ujar korban tegas.
Pesan-pesan cabul dari akun Facebook atas nama Safruddin dikirimkan secara bertubi-tubi.
Meski awalnya korban memilih mengabaikan, namun karena intensitas pesan dan foto yang makin tak senonoh, ia merasa martabat dirinya dan keluarganya telah diinjak-injak.
“Dia kirim foto telanjang dia dan ajak saya ke hotel. Saya perempuan bersuami, saya merasa sangat dilecehkan.”ujarnya.
Korban akhirnya memberanikan diri mengklarifikasi langsung ke sekolah dan menyampaikan laporan ke Polres Kota Pariaman, didampingi awak media.
Namun saat di konfrontasi, Safruddin mengaku akun Facebook miliknya dibajak karena HP-nya telah dijual.
Ia juga menyebut sudah melapor ke pihak kepolisian.
Akan tetapi, saat di konfirmasi ke Polres, tidak di temukan laporan apa pun atas nama yang bersangkutan.
“Kalau benar dibajak, seharusnya ada laporan resmi ke polisi sejak awal. Tapi ternyata tidak ada. Ini bukan kelalaian, tapi pola pelecehan,” ujar seorang tokoh masyarakat di Pariaman.
Lebih lanjut, korban menyesalkan sikap Safruddin yang justru menyatakan akan pensiun dalam minggu ini, seolah-olah ingin menghindar dari pertanggungjawaban hukum dan etik.
“Jangan karena mau pensiun lalu bisa seenaknya cuci tangan. Masalah ini serius, menyangkut nama baik dan harga diri perempuan,” tegas korban.
Setelah di konfirmasi oleh awak media, nomor WhatsApp milik kepala sekolah langsung memblokir kontak wartawan.
Sikap itu justru menambah tanda tanya di tengah keresahan masyarakat.
“Kalau memang tidak bersalah, kenapa harus memblokir media?” ujar salah satu warga.
Kasus ini dinilai mencoreng nama baik institusi pendidikan dan harus di proses baik secara etik maupun hukum.
Untuk itu, masyarakat dan tokoh adat mendesak Dinas Pendidikan Sumbar untuk tidak tinggal diam.*Mika.
(Tim;eja)






