Mika News – Operasi gabungan yang digelar Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) bersama Satuan Reserse Narkoba (Satnarkoba) Polres Pasaman Barat di Cafe Banana, Simpang Empat, Kecamatan Pasaman, Kabupaten Pasaman Barat, pada hari Sabtu (18/20/25) bukanlah sekadar agenda rutin penegakan ketertiban.
Ia adalah sebuah anomali yang menyingkap fakta pahit tentang realitas sosial di daerah Pasaman Barat yang kita cintai ini.
Keberhasilan menjaring tujuh individu dalam operasi penegakan Peraturan Daerah (Perda) tersebut seketika berubah menjadi catatan kelam ketika fakta terungkap: empat di antara mereka adalah anak di bawah umur.
Angka ini bukan statistik; ini adalah potret buram kegagalan kolektif kita dalam menjaga dan melindungi aset paling berharga bangsa.
Peristiwa ini bukan sekadar pelanggaran Peraturan Daerah (Perda) tentang ketertiban umum atau jam operasional. Ini adalah sebuah kontradiksi menyakitkan di jantung Pasaman Barat.
Di satu sisi, ada upaya penegakan hukum, namun di sisi lain, ada wajah-wajah belia yang semestinya berada di rumah, belajar, atau beristirahat, justru ditemukan di garis depan kerawanan sosial.
Baca Juga : Wali Kota Medan Apresiasi Penyelenggaraan Jong Batak’s Arts Festival #12
Hal yang paling fundamental dan harus digarisbawahi adalah keterlibatan Satnarkoba dalam operasi ini.
Kehadiran aparat pemberantas narkotika bukanlah tanpa alasan; ia mengindikasikan bahwa Cafe Banana bukan sekadar tempat usaha yang melanggar jam operasional, melainkan terindikasi memiliki kerawanan tinggi terkait peredaran atau penyalahgunaan zat terlarang.
Pertanyaan kritisnya adalah: Apa yang dilakukan empat anak di bawah umur di lokasi yang terindikasi kuat sebagai episentrum risiko narkotika pada larut malam? Kehadiran mereka di pusaran bahaya tersebut adalah sebuah ironi tragis, sekaligus tamparan keras bagi seluruh pemangku kepentingan di Pasaman Barat.
Tamparan ini terasa kian perih karena terjadi di ruang publik yang seharusnya terawasi. Cafe Banana, sebagai unit usaha yang diduga tidak mengantongi izin dari pemerintah, mestinya menjadi subjek pengawasan yang ketat.
Keberadaan anak-anak di sana, apalagi dalam konteks razia gabungan Satnarkoba, adalah bukti nyata bahwa mekanisme pengawasan tersebut tidak berjalan, atau sengaja diabaikan.
Kita tidak bisa lagi berlindung di balik dalih permisif “kenakalan remaja” atau “salah pergaulan”. Peristiwa ini terlalu serius untuk disederhanakan. Ia harus dibedah menggunakan pisau analisis hukum dan sosial yang tajam untuk mengungkap siapa yang sesungguhnya paling bertanggung jawab atas terjerumusnya anak-anak ini ke lingkungan toksik.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak secara eksplisit memandatkan bahwa perlindungan anak adalah tanggung jawab negara, pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, keluarga, dan orang tua.
Maka, terjaringnya empat anak ini di lokasi dan situasi yang sedemikian rawan adalah bukti sahih bahwa mandat luhur undang-undang tersebut telah gagal dieksekusi secara komprehensif di Pasaman Barat. Ini adalah kegagalan yang bersifat sistemik dan berlapis.
Mari kita urai kegagalan berlapis ini. Pertama, rapuhnya fondasi di level keluarga. Pengawasan orang tua sebagai benteng pertama perlindungan anak jelas telah jebol.
Apakah ini murni kelalaian, ketidaktahuan, atau ada faktor ketidakmampuan ekonomi yang memaksa anak berada di situasi rentan tersebut? Ini perlu pendalaman serius.
Kedua, menipisnya kepekaan sosial. Di mana kepedulian masyarakat sekitar? Apakah aktivitas di Cafe Banana yang melibatkan anak-anak ini tidak pernah terlihat, ataukah masyarakat lebih memilih apatis dan membiarkan? Sikap “bukan urusan saya” adalah bahan bakar yang menyiram api kerentanan sosial ini hingga membesar.
Ketiga, tumpulnya deteksi dini oleh aparatur. Pemerintah daerah, melalui dinas-dinas terkait—mulai dari Dinas Sosial, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA), hingga aparat kecamatan dan nagari—memiliki tanggung jawab proaktif. Razia adalah tindakan di hilir, sementara deteksi dan pencegahan di hulu tampak buntu.
Oleh karena itu, fokus penanganan tidak boleh berhenti pada pendataan dan pembinaan formalitas oleh Satpol PP. Status keempat anak ini harus didalami secara serius oleh unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Satreskrim Polres Pasaman Barat. Mereka adalah korban yang harus dilindungi, bukan pelaku yang harus dihukum.
Status mereka sebagai korban harus ditegaskan. Mereka bukan sekadar “diamankan” untuk “dibina”. Mereka adalah individu yang potensial telah terpapar trauma, menjadi saksi, atau bahkan korban dari aktivitas ilegal, termasuk paparan zat adiktif atau eksploitasi.
Pendekatan hukum harus bergeser dari punitif menjadi restoratif, dengan pemulihan psikologis sebagai prioritas utama.
Penyelidikan aparat kepolisian wajib diarahkan kepada pemilik atau pengelola Cafe Banana. Apa status keempat anak tersebut di sana? Apakah mereka sekadar pengunjung, ataukah mereka dipekerjakan? Jika mereka dipekerjakan, maka Undang-Undang Ketenagakerjaan telah dilanggar secara fatal.
Pengecualian pekerjaan ringan bagi anak (usia 13-15 tahun) jelas tidak relevan untuk kafe yang beroperasi larut malam. Apalagi mempekerjakan anak usia 15-18 tahun di tempat yang “membahayakan”—dan kafe yang sampai menjadi target operasi Satnarkoba jelas masuk kategori itu—adalah pelanggaran berat terhadap Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP-235/MEN/2003.
Pemilik usaha tidak dapat berlindung di balik argumen bahwa mereka hanya menyediakan tempat. Kafe atau tempat hiburan yang beroperasi hingga larut malam memiliki kewajiban moral dan hukum untuk melindungi pengunjungnya, terutama anak-anak, dari bahaya. Membiarkan mereka masuk dan beraktivitas di jam rawan adalah bentuk fasilitasi terhadap risiko.
Kemungkinan yang lebih mengerikan adalah jika keberadaan mereka di sana terkait dengan eksploitasi. Ini adalah zona merah yang harus dijelajahi penyidik dengan keberanian penuh.
Penyelidik harus berani mendalami potensi pelanggaran Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Apakah ada pihak yang sengaja merekrut, menampung, atau membiarkan anak-anak ini berada di sana untuk tujuan eksploitasi, baik secara ekonomi maupun seksual?
Atau, apakah ada pelanggaran Pasal 295 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), di mana orang dewasa dengan sengaja “memudahkan perbuatan cabul” yang melibatkan mereka? Penyidik Unit PPA dan Satreskrim harus membongkar modus operandi ini; ini bukan sekadar kelalaian, ini bisa jadi kejahatan terorganisasi.
Pemilik usaha tidak bisa lepas tangan dengan dalih “tidak tahu”. Dalam konteks perlindungan anak, ketidaktahuan bukanlah alasan pembenar. Membiarkan anak di bawah umur berada di lingkungan usaha yang berisiko tinggi adalah kelalaian fundamental yang harus ditindak tegas, baik secara administratif dengan pencabutan izin usaha maupun secara pidana.
Razia adalah tindakan reaktif. Ia penting, namun tidak akan menyelesaikan masalah dari akarnya. Yang kita butuhkan adalah langkah preventif yang sistematis dan berkelanjutan. Pemerintah Kabupaten Pasaman Barat harus segera melakukan evaluasi total terhadap mekanisme perizinan dan pengawasan tempat-tempat hiburan atau kafe yang beroperasi hingga larut malam.
Langkah preventif ini harus konkret. Misalnya, mewajibkan setiap tempat usaha memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP) yang ketat tentang larangan masuk dan sanksi bagi anak di bawah umur pada jam malam. Selain itu, perlu diberlakukan sistem pelaporan cepat yang terintegrasi antara masyarakat dan aparat jika ada indikasi pelanggaran.
Pemerintah Kabupaten Pasaman Barat juga harus memperkuat sinergi lintas instansi. Satpol PP, Dinas Sosial, Dinas PPA, dan Kepolisian tidak bisa bekerja sendiri-sendiri. Harus ada patroli gabungan preventif yang rutin dan terdata, bukan hanya bergerak reaktif setelah ada indikasi kuat pelanggaran pidana seperti di Cafe Banana.
Operasi di Cafe Banana jangan hanya berhenti sebagai seremonial penindakan dan berita sesaat. Ia harus menjadi titik mula untuk membongkar akar masalah, menyeret pelaku eksploitasi anak ke meja hijau, dan yang terpenting, merekonstruksi ulang sistem perlindungan anak kita yang terbukti telah retak. Alarm darurat ini telah berbunyi nyaring; mengabaikannya berarti kita membiarkan generasi penerus Pasaman Barat hancur dalam ironi.
PENULIS: Wartawan Muda, Saipen Kasri.
Sumber: Dihimpun dari berbagai sumber terpercaya.





