Pasbar | Mikanews : Bansos yang bertujuan untuk mengurangi beban Ekonomi dan meningkatkan Kesejahteraan masyarakat, seharusnya penyalurannya dapat terlaksana secara transparan.
Sebab selama ini, setiap ada pembagian bantuan beras atau Bansos lain-nya dari Kementerian sosial, selalu saja menjadi sorotan masyarakat dan ada saja kecurigaan yang memicu pada kontroversi.
Pasalnya pembagian bantuan tersebut diduga tidak sesuai dengan data penerima bantuan yang semestinya berhak sebagai penerima.
Memang sebahagian masyarakat banyak yang tidak memahami, bahwa bantuan sosial tersebut bukan hanya berasal dari instansi pemerintah daerah atau dari dinas sosial setempat, melainkan ada yang berasal dari sistem Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) milik Kementerian Sosial.
Terkait hal tersebut, maka wajarlah setiap ada Proses pembagian bantuan sosial maupun bantuan beras, selalu saja memicu perhatian publik.
Sebab setiap adanya pembagian Bansos, ada sejumlah penerima bantuan berasal dari kelompok masyarakat menengah, yakni kategori desil 4 hingga 6, yang ikut menikmatinya.
Hal tersebut seharusnya tidak terjadi, sebab kategori desil 4 ke atas ini tidak berhak menerima Bansos, apalagi mereka tidak termasuk prioritas penerima bantuan sosial.
Hal tersebut tentu berawal dari tidak palitnya data yang ada, dan tidak adanya dilakukan pendataan ulang, hingga sering terjadi timpang tindih dan tidak tepat sasaran.
Apa lagi diduga banyaknya data yang sudah tidak sesuai, di mana kelompok yang membutuhkan bantuan yang seharusnya menerima, tapi karena kesimpang siuran data akhirnya tidak menerima apapun.
Prioritas rumah tangga dalam desil 1-4 adalah prioritas yang membutuhkan bantuan, sementara dalam prakteknya, banyak kelompok (desil 5-10) yang lebih mampu yang menikmati Bansos.
Terkait hal tersebut, sudah sewajarnya bila banyak masyarakat meminta kepada pemerintah daerah atau dinas sosial untuk memberikan klarifikasi dan melakukan pendataan ulang kembali.
Meskipun data penerima bantuan sosial atau bantuan beras berasal dari kementerian sosial, tapi sistem Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) milik Kementerian Sosial tersebut tentu tidak muncul begitu saja (tiba-tiba sudah ada di kemensos) tentu melalui proses yang berasal dari bawah yakni, dari Dinas Sosial pemerintah daerah maupun dari Pemerintah Desa/Nagari.
Tidak mungkin kementerian sosial memiliki data, tanpa melalui seleksi pendataan di daerah.
Dalam sistem Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), meskipun milik Kementerian Sosial, tentu data ini bukan harga mati yang akan digunakan untuk selamanya.
Sebab perubahan informasi status sosial ekonomi masyarakat selalu mengalami pergeseran, untuk itu diharapkan basis data yang dikelola oleh kementerian sosial sebagai acuan untuk berbagai program bantuan sosial harus selalu diperbarui.
Data individu dan keluarga yang berhak menerima berbagai program bantuan sosial, seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), dan bantuan iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, seharusnya secara berkala sudah harus ditinjau kembali.
Masyarakat tahu, desil atau ukuran statistik yang digunakan untuk mengelompokkan data tingkat kesejahteraan penduduk adalah data pengelompokan yang berisi nilai terendah seperti; skala 1 (sangat miskin) hingga nilai tertinggi 10 (sangat kaya).
Makanya masyarakat berharap, secara berkala data Penerima bantuan sosial harus selalu ada pembaruan atau perubahan.
Dengan kata lain, Pemerintah perlu melakukan pendataan kembali dengan melibatkan petugas sejak dari perangkat desa/nagari setempat maupun petugas dari kecamatan dan kabupaten/kota, bukan hanya berdasarkan data petugas dari pendamping yang di SK kan oleh kementerian saja.
Seharusnya pemerintah Desa/Nagari memiki data resmi masyarakatnya yang terdaftar dalam DTKS, hingga setiap ada berbagai program bantuan sosiak dari pemerintah, baik dari pusat maupun daerah, apalagi bantuan dari pemerintah desa/nagari, tidak lagi terjadi kericuhan dan timpang tindih.
Status lebih rinci terkait DTKS seharusnya bukan hanya di miliki oleh kementerian sosisl saja, tetapi harusnya juga di berikan salinan (copynya) ke daerah, khususnya kepada pemerintah Desa/nagari.
Sebab pemerintah Desa/nagari yang setiap hari berhadapan dengan masyarakat dan mengetahui mengenai perkembangan kondisi masyarakatnya.
Bila kementerian sosial melibatkan pemerintah Desa/nagari dalam pendataan dan perubahan data secara berkala, kemungkinan kericuhan dan kecemburuan sosial saat ada pembagian berbagai bantuan sosial (Bansos) akan dapat diminimalisir.
Selama ini petugas pendamping dari kementerian selalu lepas tangan, dan bila ditanya oleh masyarakat, mereka dengan entengnya mengatakan,
“kami sebagai pendamping, hanya melaksanakan tugas, sebab ini merupakan program langsung dari kementerian Sosial, terkait data penerima, itu sudah ada pada buku induk di kementerian,” Jawab mereka dengan entengnya.
Agar pemerintah daerah maupun pemerintah Desa/nagari tidak menjadi sasaran pertanyaan yang klasik, maka sudah seharusnya rincian data hasil verifikasi penerima bantuan yang ada di kementerian sosisl seperti;
Desil 1 (sangat miskin):
Desil 2 (miskin):
Desil 3 (hampir miskin):
Desil 4 (rentan miskin):
Desil 5 (menengah bawah):
Desil 6 ke atas (menengah atas):
sampai desil tertinggi kelompok terkaya (desil 10) sudah harus di miliki oleh Pemerintah daerah maupun Pemerintah Desa/Nagari.
Dengan demikian pemerintah desa/nagari dapat mengetahui dan memahami bahwa daerahnya sudah termasuk kategori hijau, artinya tidak masuk ke penerima bantuan.
Demikian juga pemerintah daerah, Pemerintah daerah sudah harus meninjau, data mana yang digunakan dalam pembagian bantuan sosial atau bantuan beras tersebut.
Seharusnya bantuan sosial atau bantuan beras ataupun bantuan jenis lainnya yang disebarkan di Desa/Nagari, yang bukan merupakan program langsung dari Dinas Sosial Daerah atau bantuan langsung dari pemerintah Desa/Nagari, sudah srharusnya pemerintah daerah dan pemerintah Desa/Nagari dilibatkan dalam proses administratif, seperti penerbitan Surat Keputusan (SK) tim pendamping dan lain sebagainya, hal ini untuk meminimalisir terjadinya timpang tindih.
Agar masyarakat mengetahui, bahwa bantuan itu bukan dari Dinas Sosial daerah atau dari Pemerintah desa/nagari saja.
Tapi berasal dari Pemerintah pusat yang telah ada di data Kemensos dengan acuan DTKS yang telah di miliki.
Makanya setiap ada pembagian Bansos maupun bantuan beras dari pusat, yang datanya berasal dari kementerian sosisl selain struktur pendamping desa, seharusnya Pemerintah daerah dan Pemerintah desa/nagari harus dilibatkan hingga data penerima tepat sasaran dan tidak timpang tindih.
Kasus ini menyoroti pentingnya akurasi dan validitas data dalam proses penyaluran bantuan sosial.
Jika tidak tepat sasaran, bantuan yang seharusnya meringankan beban warga miskin justru bisa menimbulkan kebisingan dan kesenjangan sosial baru di masyarakat.
“Tujuan bantuan sosial jelas sangat bermanfaat dan baik, namun bila pelaksanaannya tidak berdasarkan data yang benar, maka akan dapat menimbulkan ketidak adilan dan kekisruhan di tengah masyarakat dan biasanya masyarakat akan menyalahkan Pemerintah daerah atau Pemerintah desa/nagari,” *Mika.
(Zoelnasti)






