Giri Maju | Mikanews : Nilai – nilai dalam Jurnalisme saat ini akan banyak menghadapi dinamika yang bias, terutama dalam memferivikasi fakta-fakta untuk menyampaikan laporan yang jujur dan dapat diandalkan dari makna kejadian.
Terutama di era kemajuan tekhnologi super digitalisasi yang saat ini menjadi kekuatan dunia usaha Jurnalisme.
Tentu kita tidak akan heran, akan maraknya tantangan terhadap profesi wartawan yang semakin dahsyat, bukan hanya tantangan dari luar, tetapi tantangan sesama profesi yang tak siap bersaing sehatpun akan menjadi sorotan catatan kelam penggiringan opini dalam merebut hati publik, khususnya merebut atau mengambil muka publik yang memiliki kue tart.
Akibatnya, memahami pemikiran tentang Jurnalisme untuk mampu eksis dalam konteks publik akhirnya semu, sebab wartawan kini sibuk mengurus wartawan,karena masih mengedepankan
individu atau kelompok yang menggantungkan hidupnya di dunia wartawan, hingga hanya ia dan kelompoknya saja yang berhak atas pengakuan.
Yang dikejar oleh Jurnalisme saat ini lebih condong kepada praktik mengejar kepentingan pengakuan, karena sarat embel-embel kebutuhan atau persaingan dalam kepentingan semu, hingga merendahkan standar Jurnalisme yang lebih buruk.
Bukan mengejar atau berupaya berkarya untuk mendapatkan liputan yang menghasilkan sajian informasi objektivitas agar dapat dibaca oleh publik secara subtansial sebagai informasi yang mencerahkan dan mencerdaskan.
Perlu kita pahami, bahwa akurasi kebenaran tentang fakta sangat penting, sebab akurasi dapat dijadikan fondasi dalam konsistensi konteks yang masuk akal agar gambaran peristiwa yang disampaikan utuh tanpa menjilat apa lagi mendikte bahkan sampai menginterprestasikan bahwa hanya ia dan kelompoknya yang hebat dan berhak atas kue publikasi, yang lain adalah premanisme melalui tulisan.
Mari kita diskusi atau debat, terkait atas semua yang berbau komunikasi informasi untuk publik dengan akal sehat dan mengacu pada norma-norma yang valid dan jujur serta tetap berpegang pada UU 40 Tahun 1999 Tentang Pers.
Apa bila sebuah forum debat antara pihak yang berlawanan hanya menggunakan egoisme untuk kepentingannya sesaat dengan perbandingan, tanpa mau mengklarifikasi, berarti kita bekerja tidak memakai verifikasi kompetensi yang masuk akal, melainkan verifikasi mutlak hanya menurut kita saja, bahwa hanya kitalah yang berhak melakukan peliputan berita.
Sangat disayangkan kalau seorang ketua suatu organisasi yang katanya besar, sampai tidak memahami UU pers no 40 tahun 1999.
Bab I pasal 1 ayat 4, Wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik.
ayat 5, Organisasi pers adalah organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers.
*Tidak ada dinyatakan dalam pasal dan ayat tersebut, wartawan harus tergabung pada organisasi profesi tertentu, dan tidak ada pula dikatakan organisasi pers hanya organisasi tertentu.
Apa lagi pada pasal 4 ayat 1 dinyatakan, kebebasan pers di jamin sebagai hak asasi warga negara, tidak ada dikatakan disitu kebebasan pers hanya dikuasai oleh wartawan atau organisasi tertentu.
Sebab setiap wartawan dalam melaksanakan perannya sudah diatur pada pasal 6 …
Bahkan pada BAB III Pasal 7 ayat 1, jelas tegas dinyatakan;
wartawan bebas memilih organisasi wartawan, tidak ada dikatakan di situ kalau tidak bergabung di organisasi tertentu dan tidak memiliki UKW yang dikeluarkan oleh Dewan Pers adalah premanisme alias bukan wartawan.
Belajar dan bacalah kembali secara berulang – ulang hingga paham isi dan makna kebebasan pers dalam UU RI NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS.
Apakah ada dinyatakan kalau wartawan tidak mengikuti UKW Dewan Pers bukan wartawan tapi premanisme.
Demikian mungkin maksud dari apa yang disebut oleh ketua organisasi pers (yang katanya terbesar dan terhebat itu,) melalui tulisan di medianya yang antara lain mengatakan;
” Kalau bukan wartawan kompeten – bersertifikat Dewan Pers, itu premanisme berkedok wartawan,” sebut ketua PWI Kepri, Salbansyah Dardani.
Hingga pernyataannya ini menuai reaksi keras dari sejumlah wartawan di Batam yang sengaja dibuatnya resah, yang tujuannya mungkin diduga sengaja memancing agar ada reaksi brutal dari kalangan jurnalis.
Dan kita lihat, memang niatnya berhasil MENURUTNYA.
Sebab ia telah mengantongi *surat laporan liciknya, yang tercatat pada Nomor ; LP/B/270/VI/2025/SPKT/POLRESTA BARELANG/POLDA KEPULAUAN RIAU.
Apakah ini karena kebodohan atau memang egois yang tak siap bersaing secara sehat hingga di duga sengaja ingin membuat masyarakat bingung dan para wartawan terpecah belah yang berujung pada kekerasan.
Kok begitu pintar, tapi bodoh dalam memainkan peran hingga dengan mudahnya mengklaim sepihak, bahwa yang kompeten hanya UKW dewan pers Saja..?
Aneh, katanya ketua organisasi terbesar, namun karena tak mampu memberi klarifikasi atas pemberitaan yang telah terlanjur dikeluarkannya, akhirnya dengan berbagai trik dan ego pemahaman, ia buat strategi licik dengan sengaja memancing suasana forum agar terpancing emosi dan melakukan kekerasan terhadap dirinya.
Hal tersebut diduga dilakukannya agar ia memiliki bahan untuk membuat laporan polisi terkait tindakan arogansi yang bermuara ke pidana.
Di sini terlihat, pihak yang katanya profesional itu memang sengaja memancing lawannya agar tersulut emosionalnya dan memang ia berhasil memancing emosi peserta yang ada di forum itu, hingga terjadi tindakan kekerasan menurut versinya.
Sungguh licik kalau memang akhirnya ini lah tujuannya agar wartawan di luar mereka dapat dikatakan premanisme dan PWI Kepri mendapat pengakuan dan dukungan kuat dari publik…?
Secara tersirat menang terlihat pernyataan ketua PWI Kepri itu melalui pemberitaannya, seakan -akan wartawan adalah milik PWI, hal itu dapat dibaca dari contoh statemennya ;
( statemen Ketua PWI Batam, M. Ansyarullah Kahvi Ansyari mengatakan,
“Kami tidak akan memberikan profesi wartawan dicemari. PWI Batam berdiri bersama kepala sekolah!”.)
Nah, terlihat statementnya pasang badannya itu, bahwa hanya mereka saja yang berprofesi sebagai wartawan profesional yang kompeten bersertifikat Dewan Pers.
Dengan demikian menurutnya, wartawan di luar PWI tidak diakui, sebab wartawan tersebut adalah pencemar profesi wartawan, alias premanisme.
Kini mereka merasa sudah berada di atas angin, karena telah berhasil memancing emosi lawannya untuk melakukan premanisme dengan kekerasan.
Akhirnya, dengan dalih hukum, ia berhasil memiliki bahan fakta untuk melakukan proses hukum dengan dalih melawan praktik premanisme yang mengatasnamakan profesi wartawan.
Berhasil, menurut dia mungkin iya, tapi dia tidak menyadari kalau rencana kelicikan dan muslihatnya itu terbaca dengan gamblang oleh masyarakat bahwa ia hanya ingin mengukuhkan keberadaan “hanya PWI yang profesional di Batam, yang lain adalah premanisme.
Banyak pihak berharap laporan licik yang tercatat pada Nomor : LP/B/270/VI/2025/SPKT/POLRESTA BARELANG/POLDA KEPULAUAN RIAU tersebut, hendaknya pihak kepolisian dapat melakukan proses dengan penyelidikan yang transparan dan profesional, bukan berdasarkan fakta dari laporan sepihak.
Seharusnya pernyataannya ini bukan dilawan dengan emosi yang berujung pada kekerasan dan berakhir pada pelaporan, tapi nasi sudah jadi bubur, namanya manusia tentu memiliki kadar batas kesabaran bila terus menerus dibakar.
Pelajaran bagi kita, untuk mengedepankan rasional, seharusnya opini dilawan dengan opini sesuai kaidah jurnalistik dan kompetensi yang kita miliki.
Bukan dengan tersulut emosi yang memang sengaja mereka harapkan.
Biarlah PWI Kepri menganggap bahwa wartawan adalah mereka, mari kawan-kawan non PWI, kira buktikan bahwa wartawan itu bukan hanya PWI Kepri…*Mika.
(Red)






