Giri Maju | Mikanews : Selama ratusan tahun tujuan Jurnalisme selalu sama atau tidak berubah yakni, proses pengumpulan, penyuntingan dan penyajian berita dan menyediakan informasi kepada publik melalui media massa agar masyarakat mengenal situasi kehidupan baru di sekitarnya.
Namun di era super technologi digitalisasi saat ini, definisi Jurnalisme telah bergeser dengan ledakan media digitalisasi dalam pengetahuan yang berakar pada realitas mendasar dengan kecepatan teknik, karakter, teori dan filosofi, kategori yang lebih luas.
Di mana, teori dan tujuan Jurnalisme yang bertahan lebih dari 300 tahun yang lalu, kini telah bergeser, meskipun fungsi yang di mainkan karakter pengiriman berita masih memiliki basis informasi yang sama dan tetap gamblang namun tak tersaji dengan baik, memang konsep Jurnalisme masih terlihat, namun penggiringan opini lebih dominan.
Kalau secara klasik, atau pengertian lama, bila penguasa dan pengusaha dunia ingin menindas atau mengintimidasi kebebasan pers, maka para penguasa dan pengusaha tersebut akan mendikte pers dan menindas atau mengkondisikan pers terlebih dahulu.
Namun bila tidak dapat didikte maka, mereka lakukan tindakan mengkebiri pers atau membuat aturan maupun regulasi yang pelik untuk menindas pers.
Di era digitalisasi saat ini, mereka tak perlu lagi mendikte dan menindas atau membredel siaran pers, sebab pers bebas sebagai lembaga independen tidak lagi menjadi ancaman bagi mereka.
Aturan atau pembredelan terhadap pers saat ini tak lagi tren bagi penguasa, pengusaha dunia, mereka cukup membuat pers baru melalui buzzer nya sebagai tandingan pers independen.
Bahaya Jurnalisme independen bagi penguasa dan pengusaha dunia lambat laun mungkin menghilang, sebab pers baru ala buzzer ciptaan mereka ke dalam promosi diri yang berlebihan pada komunikasi komersial lebih dominan.
Penguasa, pengusaha dunia tak lagi peduli dengan wartawan yang memiliki lisensi, bahkan mereka berpendapat, bahwa inilah saatnya membuat wartawan menghindari lisensi, hingga sesama wartawan akan saling berdebat dan curiga yang berujung pada perhelatan, ternyata mudah menjadi WARTAWAN.
WARTAWAN tak butuhkan Kompetensi, syarat-syarat itu sudah usang, definisi wartawan berlisensi ke depan, kelak tak tepat lagi, sebab siapa saja bisa menjadi wartawan.
Ini akibat para penguasa dan pengusaha dunia telah menyokong kapitalisme tanpa demokrasi hingga timbul preseden kepemilikan media ternyata menomorduakan Jurnalisme.
Demi kepentingan kekuasaan mereka ciptakan buzzer tanpa batasan, dengan bayaran yang menggiurkan dan menjanjikan, tanpa berkutat dengan aturan dan lisensi.
Situs web mereka kembangkan tanpa batas, dengan dalih, tujuan membangun dan membantu masyarakat bukan saja sebagai konsumen informasi, tapi penyaji informasi, sebagai jurnalis warga.
Kiat jurnalis warga dan kebebasan pers mereka galakan, padahal secara terselubung tujuan situs web dan kebebasan tersebut adalah jalan mereka melahirkan ribuan buzzer bayaran untuk membuktikan, bahwa ketidak benaran media sebagai pilar demokrasi semakin semu.
(Kebebasan pers menyisakan dua sisi, misi jurnalistik dan misi konflik loyalitas)
*Misi Jurnalistik; menyediakan informasi yang akurat, komprehensif dan relevan kepada publik yang berfungsi sebagai alat kontrol sosial…
*Misi konflik loyalitas; mencapai kesetiaan dan pengabdian kepentingan yang lebih dominan, kepada pemberi kepercayaan maupun komunitas, baik secara bisnis maupun politik dengan kepentingan yang berbeda…
Dengan liciknya, para penguasa dan pengusaha dunia tersebut sengaja mengembangkan dan memanfaatkan pemahaman tentang kebebasan pers melalui situs web, di mana sebenarnya naluri kesadaran manusia dalam kehidupan yang membutuhkan berita inilah yang mereka fungsikan untuk dimanfaatkan.
Hal tersebut mereka manfaatkan, dengan menciptakan isu digitalisasi melalui komunitas, hingga banyak lahir komunitas jurnalis warga maupun wartawan kambuhan tanpa regulasi ataupun lisensi.
Isu kebebasan era digitalisasi liar ini, buzzer mereka gunakan untuk kekuatan kekuasaannya dengan mengikat warga melalui cipta opini agar haus akan informasi, di mana naluri tersebut terus berkembang yang akhirnya menggiring dan mencipta opini, hanya untuk mendukung semua kebijakannya.
Jurnalis jembatan deklarasi dalam menggelindingkan dan menyuarakan solidaritas menjadi kebenaran demokrasi yang sudah ada sejak abad ke 17, perlahan tapi pasti akan pudar di pusaran masa.
Saat ini, Jurnalisme yang selalu hadir untuk membangun hak warga, atau untuk membangun demokrasi maupun untuk membangun informasi dalam menciptakan kehidupan politik, sosial, ekonomi dan ketatanegaraan termasuk situasi keamanan, masih tetap berjalan, tapi harus mampu menciptakan dan menggiring suatu opini yang dominan sebagai momen baru di masanya
Jurnalisme di zaman super tekhnologi saat ini telah bergeser, membuat perubahan baru sesuai masanya, di mana informasi tersedia begitu instan dengan momen di semua benua sesuai pemanfaatan.
Manusia membutuhkan berita karena naluri dasar, dimana naluri kesadaran ini adalah insting untuk mengetahui apa yang terjadi di sekitar kita.
Berita adalah bagian dari komunikasi yang membuat kita terus mendapatkan informasi tentang isu dan peristiwa di seputaran jagat raya ini.
Makna bebas berbicara dan menulis inilah yang oleh para penguasa dan pengusaha dunia terus dikembangkan dan digunakannya untuk dimanfaatkan mencapai tujuannya dengan bersandar pada evolusi super technologi digitalisasi yang melanggengkan kepentingan politik dan kekuasaannya dengan balutan pers sebagai benteng kebebasan berdasarkan doktrin sesuai elite taktis ciptaan mereka.
Elite taktis ciptaan para penguasa dan pengusaha dunia ini adalah; buzzer.
Kita tahu buzzer adalah individu atau sekelompok orang yang dibayar untuk menyebarkan informasi, opini atau pesan tertentu melalui pers baru dan media sosial atau situs web mereka, dengan cara yang persuasif dan berulang, bagaimana agar buzzer dapat menggiring dan mempengaruhi opini publik untuk mendukung kepentingan mereka.*Mika.
…bersambung ..
(Zoelnasti)






