Mikanews.id – Kita tahu, Program Universal Health Coverage (UHC) adalah program jaminan kesehatan yang bertujuan agar seluruh masyarakat memiliki akses kesehatan yang adil dan terjangkau.
Di mana tujuan UHC antara lain disebutkan yakni, menjamin akses pelayanan kesehatan yang adil, bermutu dan melindungi risiko finansial ketika menggunakan pelayanan kesehatan, serta menjamin masyarakat untuk mendapatkan layanan kesehatan di rumah sakit di seluruh Indonesia, hanya dengan menunjukkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau Kartu Keluarga (KK).
Sementara juga disebutkan sejak 1 Januari tahun 2024, pemerintah terus mendorong percepatan UHC yang diselenggarakan melalui program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Sedangkan sasarannya adalah diperuntukkan kepada golongan masyarakat yang tidak mampu.
Tapi pada kenyataannya, Nasib Program UHC menjadi dilema akibat adanya dugaan antara program pemerintah atau hanya sebuah DAGELAN dari Janji Politik, yang muaranya tentu pada Penderitaan Rakyat yang berkepanjangan.
Dagelan akibat dari janji Politik, kini dampak pahitnya sudah dirasakan oleh kenyataan terputusnya program UHC karena sang penebar janji (incumbent) tak lagi dipilih oleh masyarakat.
Siapa yang bertanggung jawab, atas derita masyarakat ketika program pemerintah berhenti di tengah jalan ?
hal ini akibat sang penebar janji (petahana) tidak terpilih lagi atau tak lagi diberi mandat oleh rakyat, hingga dengan seribu alasan ia tak lagi menganggarkan untuk tahun berikutnya.
Pertanyaan ini kembali relevan saat kita mencermati nasib Universal Health Coverage (UHC). Program yang dirancang untuk memberikan akses kesehatan gratis ini justru berbalik menjadi beban baru bagi banyak daerah dan masyarakat.
Di Pasaman Barat, misalnya, pemerintah daerah secara resmi menghentikan layanan kesehatan gratis mulai 1 Januari 2025. Ironisnya, kebijakan ini meninggalkan masyarakat dalam kebingungan.

(Kebijakan menghentikan layanan kesehatan gratis ini apakah kebetulan atau apalah namanya, yang jelas rakyat tahu… sang penebar janji / petahana yang berkoar-koar pro rakyat, ternyata tak lagi memimpin karena rakyat mungkin sudah muak dengan janji dan kinerjanya).
Akibat program UHC diterapkan, banyak warga yang selama ini rutin membayar iuran BPJS mandiri, tidak lagi membayar iuran sejak layanan kesehatan dinyatakan “gratis”, dengan kata lain, masyarakat menghentikan pembayaran.
Akibatnya, saat program UHC dihentikan, masyarakat mendapati diri terjebak dalam tunggakan iuran, hingga hal itu bukan saja menghalangi akses layanan kesehatan berikutnya, tapi masyarakat terjebak dengan hutang iurannya.
Fakta ini memunculkan pertanyaan besar : apakah ada kajian komprehensif sebelum program seperti UHC diluncurkan?
Apakah pemerintah memikirkan dampak jangka panjang bagi rakyat yang menjadi sasaran kebijakan ini?
Dikotomi antara “gratis politik” dan “gratis program” menjadi semakin nyata.
Jika layanan kesehatan gratis hanya menjadi alat politik, maka program ini pasti berakhir seiring pergantian pemimpin.
Sebaliknya, jika pemimpin memang sungguh peduli pada kesejahteraan rakyat, maka kebijakan seperti UHC harusnya sudah dilandasi regulasi yang kokoh dan berkelanjutan.
Masalah ini menunjukkan bahwa program untuk rakyat tidak boleh bersifat sementara atau bergantung pada masa jabatan tertentu, (menyakitkan kalau program hanyalah bualan, atau hanya untuk jualan politik sesaat).
Pengalaman pahit dari buah janji manis di bibir pemimpin seperti ini, seharusnya menjadi pembelajaran yang berharga bagi pemimpin terpilih, agar tak mengulangi manis bibir politiknya ke depan.
Pemimpin yang visioner harus memastikan kebijakan publik berjalan dalam jangka panjang, tanpa terkendala oleh dinamika politik.
Inilah yang seharusnya menjadi inti dari kesejahteraan rakyat : keberlanjutan, bukan sekadar janji dan simbol menutupi keegoan nafsu kuasa sesaat saja.
Siapapun pemimpinnya, masyarakat berhak merasakan manfaat nyata dari kebijakan yang dijalankan.
Semoga pemimpin Pasaman Barat yang baru terpilih, nantinya bisa memastikan bahwa setiap program tidak hanya menjadi janji politik, tetapi juga solusi untuk mewujudkan keadilan sosial.
Jika tidak, kita hanya akan terus berada di depan pintu gerbang kemerdekaan, tanpa pernah benar-benar masuk ke dalam gerbang kemerdekaan.
Penulis adalah pimpinan Redaksi Mikanews.






