spot_img
spot_img
BerandaOPINIPuisi Esai Yang Tergantung Dipagar Pendopo Agung

Puisi Esai Yang Tergantung Dipagar Pendopo Agung

Banten | Mikanews : Puisi esai yang tergantung dipagar Pendopo Agung itu berarak-arak mengusung amarah ke pendopo agung yang telah kehilangan pamornya.

Dia tercagak angkuh tiada kesan ramah sedikitpun, sementara dia masih tetap mangaku sebagai cawan penampung suara rakyat yang lapar.

Satu dari seorang saudaraku keluar meninggalkan pendopo agung itu untuk pulang ke kampung halaman.

Dia sudah kukuh untuk kembali menjadi petani yang mengolah tanah penuh keberkahan.

Orang banyak pun bertanya tentang kursi kosong yang telah dia tinggalkan nyaris lapuk dilahap rayap, seperti duit untuk proyek pembangunan yang terkerat entah untuk siapa saja yang merasa berkepentingan untuk melahapnya.

Di ujung pekerjaan yang tak mungkin sempurna itu mereka mulai menonton keambrukannya, tanpa keluh kesah, lantaran sibuk mempersiapkan proposal baru guna membangun proyek yang baru.

Selebihnya mereka merasa berhak berjoget-ria di tengah teriakan suara yang serak karena memang sudah berangkat dari rumah belum sempat makan bergizi gratis yang dibawa anak-anak dari sekolah.

Dan dia pun tak sempat bertanya, apakah kedua anaknya itu sudah sarapan pagi di sekolah. Sebab kesibukan terlalu banyak bertumpuk di dalam tempurung kepalanya yang kurang gizi itu.

Kemarahan yang diarak berderak-derak oleh puisi esai itu ke pendopo agung melewati balai kota yang sunyi senyap, seakan tengah libur bersama seperti budaya korupsi yang sudah lebih dahulu di lakukan secara kompak.

Meski ada di antaranya yang tidak setuju dan berkenan ikut, toh pesertanya langsung bisa mendapat gantinya yang lain.

Sebab yang tidak mau bisa menyisih, bila tak hendak disisihkan oleh anggota gerombolan yang semakin kuat dan banyak.

Suasana kejahatan yang masif inilah tampak menjadi reputasi terhebat dari mereka yang telah mendapat gelar, “korupsi berjamaah” bahkan “sindikat berjemaah” yang memiliki jaringan mulai dari pelaksanaan proyek hingga para aparat pengawas hukum agar tetap terkesan tegak, tidak sempoyongan di mata rakyat.

Tapi toh, rakyat tetap peka merasakan ketimpangan yang tidak seimbang itu, tak hanya di wilayah ekonomi, tapi juga di ranah politik yang semakin bringas dan canggih menundukkan tipu daya untuk terus berkuasa dan mengeruk kekayaan negara.

Akibatnya, toh tetap rakyat juga mendapat dera dan derita.

Itulah suara yang berderak-derak diarak oleh puisi esai ke pendopo agung, sebab untuk dibicarakan di balai kota sudah tidak lagi ada tempatnya.

Puisi esai itu pun sampai hari ini tetap termangu-mangun berdiri di depan pintu gerbang pendopo agung, yang katanya akan selalu menerima kehadiran rakyat bersama suara yang di teriakkan, agar tak membuat kebisingan di jajan raya.

Pamflet puisi esai yang tergantung di pagar angkuh pendopo agung itu, seperti menghiba kepada Tuhan, sebab tak ada makhluk lain yang mau perduli dengan herit perih hati dan dera batin mereka yang teraniaya.

Setiap pagi, penulis puisi esai itu sengaja menjenguk pamflet yang tergantung di pagar pendopo agung yang angkuh itu.

Ia tiada pernah bosan untuk sekedar mengekspresikan rasa citanya kepada bangsa dan negara dengan kesetiaan dirinya yang tetap terjaga.

Meski doa sendiri tampak abai dengan kesehatan dirinya yang semakin ringkih dan rapuh di telah usia, seakan berlomba dengan umur kemerdekaan negerinya yang sudah terbilang uzur.*Mika.

(Red)

Jacob Ereste; Banten, 7 September 2025

Google News

- Advertisement -spot_img
Related News

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini